Tuesday, October 25, 2016

[FanFic - Only You Don't Know] : Only You

Berikut ini adalah fanfic kelanjutan dari cerita Nayoung di Webtoon Only You Dont Know. Abis masa udah abis begitu aja tuh komik #gakrela. Tapi gue sih sepertinya punya firasat ada Season ketiganya tuh. Ya, entah sih...
Tapi di-cekidot aja yang ini.

ONLY YOU


Sudah lima tahun aku tidak pernah sama sekali menyentuh benda-benda itu. Meskipun benda itulah yang mengubah seluruh hidupku, tapi saat itu aku sadar bahwa aku tidak boleh bergantung lagi pada benda itu.

Kelahiran kedua putra kembarku juga mendukung tekadku lebih bulat lagi. Aku tidak ingin anak-anakku kelak tidak mengenali wajah ibunya. Meskipun awalnya cukup berat bagiku untuk melakukannya dan berpikir tidak ingin membuat kedua putraku malu di kemudian hari, tapi dia selalu menguatkanku. Dia selalu mengatakan padaku bahwa kebaikan dan kelembutan hati seorang ibu akan mengalahkan semua penampilan luarnya. Dengan mengumpulkan kepercayaan diri sedikit demi sedikit akhirnya aku bisa tampil tanpa bergantung lagi dengan kotak make up­.

“Nayoung, aku taruh sini ya,” Suho menyodorkan sekantong plastik popok baru kepadaku. Lalu duduk manis di sampingku sambil melihatku menggantikan popoknya Soo Young.

“Terima kasih.” Karena sudah terbiasa dengan kegiatan ini, aku bisa melakukanya dengan cepat. Lima tahun yang lalu mengurus si kembar benar-benar menempa diriku menjadi ibu yang sigap.

Setelah menyelesaikan sentuhan terakhir pada Soo Young, aku bisa bebas meninggalkan Soo Young yang baru tiga bulan di kamarnya. Namun, saat aku ingin mengajak Suho untuk keluar, mata kami bertemu. Suho menatapku dengan tatapan yang tidak biasa.

“Suho...” Baru Suho sadar ketika aku menyapanya. Aku sudah hapal dengan tatapan seperti itu. Tatapan seperti seorang ilmuan mendapatkan fosil langka dan ingin segera menelitinya.

“Ah, maaf...” Suho tertawa kaku dan meminta maaf berulang kali. Aku mengajaknya keluar kamar Soo Young membiarkan anak itu untuk tidur dengan tenang.

“Nayoung aku...”

“Aku paham. Kamu belum terbiasa kan? Padahal sudah lima tahun berlalu...”

“Aku juga berharap aku bisa terbiasa, tapi... tapi kamu benar-benar...”

“Seperti orang lain?” kataku, tersenyum sedih.

“Nayoung...”

“Ini memang keputusan berat. Dengan wajah sejelek ini siapa yang mau mengingatnya...”

“Nayoung... Penampilan luar memang penting, Nayoung. Tapi ketulusan dan kebaikan hatimu itu lebih penting dari apapun.” Aku tersenyum ke arahnya. Pasti dihapalnya. Tapi dia memang sudah berubah dari enam tahun yang lalu. Dia bukan lagi Suho yang dulu, meski tidak seluruhnya berubah tapi aku bisa merasakannya dia bukan lagi Suho yang dulu.

“Aku mau ambil minum dulu.”

Hanya saja, dia masih belum terbiasa dengan penampilanku tanpa make up.

Pintu depan terbuka, lalu teriakan dua bocah kecil bersemangat menggema ke seluruh penjuru rumah.

“Ibuuuuu----! Kami beli gulali raksasa!!” dengan pelafalan yang jelas Jung Ho berlari ke arahku dan memelukku sambil membawa plastik gulali di tangannya.

“Jangan makan terlalu banyak ya, Jung Ho sayang. Kau bisa menghabiskan gigimu karena rusak nanti.”

“Iya, Bu. Aku makan satu hari satu gigit.” Aku tertawa geli mendengarnya, tapi tidak lupa untuk menjawabnya. Biasanya Jung Ho akan lupa setelah makan satu gigitan. Dia memang menaruhnya di kulkas, namun bentuknya setelah itu tidak karuan. Jung Ho akan meminta izin kepadaku untuk membuangnya saat itu.

Hahh... sepertinya sudah saatnya aku memperingatinya dengan keras untuk tidak makan gulali itu, karena akan selalu mubazir setiap kali dibeli.

Jung Suk berada di belakang Jung Ho menunggu giliran. Tangan kecilnya memainkan plastik gulali. Saat aku melihat ke arahnya, dia tersenyum, bersabar sampai akhirnya Jung Ho melepaskan pelukannya.

“Lihat, badanmu kotor. Ayo kita bersiap untuk mandi. Pergi ke kamar mandi duluan ya... Jung Suk mau berbicara dengan ibu.”

“Baik~” Jung Ho lari ke dalam, menuju kamar mandi.

Jung Suk masih menunggu dalam diam. Aku tersenyum ke arah Jung Suk dan merentangkan tangan bersiap menerima pelukannya. Jung Suk berlari dan memelukku dengan erat.

“Anak mama yang baik...”

“Balusan, aku bilang ke Hyung cupaya nggak beli gulali lagi.” Jung Suk mulai bercerita dengan pelafalan huruf yang tidak sempurna. “Ibu celalu cedih kalau gulalinya nggak habis dan dibuang.” Jung Suk dan Jung Ho hanya selang beberapa menit saat lahir dunia ini. Jung Ho yang keluar duluan, makanya kami memutuskan untuk memanggil Jung Ho dengan sebutan kakak. Namun, sikap dewasa dan ketenangan milik Jung Suk membuatnya terkadang terlihat seperti seorang kakak. Meski sepertinya Jung Suk hanya memperhatikannya dari kejauhan, dia selalu memastikan Jung Ho tidak melakukan yang salah. “ ...tapi, Hyung bilang, Appa ngacih duitnya, telus bilang ‘Ini buat beli gulali’” lanjutnya.

“Duh, dia ituu...” gemasku dengan suara tertahan. Saat Jung Suk melihatku heran, aku memberi senyuman terbaikku kepadanya, “Ibu mengerti, Jung Suk sayang. Kau sudah melakukan yang terbaik.” Aku mencium pipi anakku. Dia menciumku balik dan beranjak untuk pergi ke kamar mandi menyusul Jung Ho.

Annyeong Jung Suk-ah!” Suho datang kembali dan bergabung denganku. Jung Suk menjawab singkat dan segera pergi ke kamar mandi.

“Mereka berdua aktif sekali sepertimu...” Suho tersenyum. Kata-katanya tulus dari lubuk hatinya. Dia tidak berusaha menyindir atau menghiburku bahwa ketiga anakku tidak ada yang wajahnya mirip denganku.

“Untungnya bukan wajahnya ya...”

“Tuh, kan, Nayoung mulai lagi deh...” Suho terlihat merasa tidak enak karena dia berpikir bahwa aku merasa tersinggung karena ucapannya.

“Ahaha bercanda kok.” Aku tertawa geli melihat Suho yang salah tingkah. “Biar bagaimana pun aku telah berusaha keras melakukan segala riset untuk membentuk cabang bayi di dalam perutku agar sempurna lho...” melihat reaksi Suho semakin merasa bersalah aku jadi geli sendiri, tertawa terbahak-bahak.

“Nayoung, kau ini... bisa-bisa bercanda seperti itu.”

“Lho, aku serius lho...” aku masih berusaha menghentikan tawaku.

“Tapi kau benar-benar berubah...” Suho terlihat menundukan pandangannya karena malu. “Kau yang dulu tidak mungkin bisa setegar ini sekarang...” lalu menatapku kembali. “Berkat dia, dia benar-benar telah mengubahmu. Aku bersyukur kau menikah dengannya. Bukan denganku.”

Dulu, aku dan Suho memang saling memiliki ketertarikan. Tapi karena rasa percaya diriku yang payah, aku mundur teratur menolak perasaan Suho. Saat mengalami depresi karena melihat Suho yang menerima perasaan perempuan lain dan mulai menjalin hubungan. Dia menawarkan sebuah kepastian kepadaku.

“Kalau kau segitu takutnya memperlihatkan wajahmu kepada orang yang kau suka lalu bagaimana kalau nanti menikah?”

“Yah, kalau calonnya sampai melihat wajahku bisa-bisa dia memilih untuk membujang...”

“Misalnya saja, dalam kesempatan ini aku akan jadi pria yang mengambil kesempatan itu bagaimana?”

“Ma... maaf aku tidak mengerti.”

Saat itu pernyataannya sungguh membuatku tak bisa berkata apapun, aku tidak mungkin tidak mengerti maksudnya dia berbicara seperti itu. Tapi aku berpikir saat waktunya tidak tepat sekali, aku masih shock karena Suho jadian dengan dengan orang lain, dia malah menyatakan perasaannya kepadaku. Tapi dari situlah aku mengerti bagaimana dia mengagumiku sejak dulu dan bagaimana dia tetap memiliki perasaaan yang sama meskipun melihat wajahku tanpa riasan make up.

Saat itu aku berkata kepada diriku sendiri...

Suara pintu terbuka, langkahnya semakin dekat menghampiri aku yang bersiap meninggalkan Suho di ruang tamu.

“Ah, dia pulang,” gumam Suho. “Nayoung, Daeguk pu...” aku berlari ke arah suamiku dan memeluknya.

“Selamat datang kembali,” aku menengadahkan wajahku untuk melihatnya. Tatapan yang sama ketika waktu itu, tatapannya tidak akan berubah meskipun melihatku tanpa make up.

“Aku pulang.” Seraya dia memelukku balik.

“Aku tidak akan menemukannya orang yang bisa menerimaku apa adanya seperti dia. Mungkin saja, aku tidak akan menemukannya untuk kedua kalinya.”  

“Err... bisa nggak aku pulang dulu?” Suho menyumpah serapah, lalu pergi beranjak keluar rumah.


-FIN-

No comments:

Post a Comment